Pages

Pages

Tuesday, June 12, 2007

Maksiat di Negeri Islam

Nanggroe Aceh Darussalam yang telah menerapkan hukum Islam sebagai hukum yang berlaku telah sedikit banyak membawa perubahan didalam kehidupan penduduknya. Walaupun belum menyeluruh-kaffah, namun pemberlakuan syariat di bumi Serambi Mekkah ini diharapkan akan tetap berlanjut sehingga mencapai suatu negeri yang penuh rahmah dan sentosa. Para penegak hukum (WH) ini juga sedang bekerja keras untuk menindak lanjuti kelangsungan hukum ini di masyarakat. Demikian juga halnya masyarakat, alim ulama, dan tokoh-tokoh didalamnya sangat mendukung semua hal yang terkandung dalam hukum ini.
Didalam penerapannya, banyak kendala yang dialami oleh setiap komponen, baik itu dari segi penegak hukumnya ataupun juga masyarakat pelaku hukum. Ada sebagian komponen masyarakat yang kurang siap menerima keberadaan hukum ini di NAD. Dan bahkan lebih parahnya, ada juga sebagian komponen masyarakat yang ingin merusak nilai hukum tersebut dengan mengekspose kejelekan/ aib yang berkaitan dengan hukum tersebut ke masyarakat luas. Dan anehnya, disadari atau tidak, para pelaku pengeksposan tersebut adalah dari kalangan Nanggroe itu sendiri yang nota bene adalah pencetus berlakunya Syariat Islam di NAD.
Kasus pengeksposan adegan mesum “paksa” ke media internet atau handphone, merupakan salah satu fakta bahwa ada komponen masyarakat yang ingin memberitahukan kepada umum bahwa di Nanggroe ini ‘adajuga’ video mesum. Sebelumnya juga kasus video lainnya yang diyakini juga berlokasi di salah satu area Banda Aceh juga bebas beredar di handphone masyarakat. Bukan hanya video, yang sifatnya hanya sebuah rekaman singkat. Kondisi lebih berani lagi, para remaja, pemuda dan bahkan orang dewasa, bebas mengekspose secara vulgar kemesraan, kemesuman, dengan lawan jenis mereka di depan khalayak umum, ditempat umum dan juga tak mengenal waktu. Tidak jauh-jauh, kita ambil contoh di ibukota provinsi NAD, Banda Aceh, pusat dan kendali segala hukum dan tatanan masyarakat. Momen-momen tersebut banyak terlihat di lapangan Blang Padang menjelang sore hari dan kian memprihatinkan kala memasuki arena malam dan lebih larut. Anehnya, tempat tersebut dikelilingi oleh para petinggi-petinggi tatanan masyarakat NAD. Ada rumah Kapolda, Pangdam dan Ketua DPRD, dikelilingi juga oleh lingkungan pendidikan sekolah bahkan kalau bisa dibilang, bertetangga dengan mesjid kebanggan Baiturrahman.
Kondisi lainnya dapat juga dilihat di lokasi wisata Lhoknga, pondok yang di set hanya untuk berdua banyak terlihat berderet disejejeran tepi pantai. Seakan sengaja memberikan ruang untuk para pegiat maksiat menggunakan tempat tersebut. Dimalam hari, pantaran koridor jalanan dipenuhi dengan para pedagang makanan cepat saji. Dan tempat yang mereka berikan, keremangan dan sudut yang nyaris tanpa penerangan, sangat riskan untuk para pegiat maksiat untuk melaksanakan “niat birahi’ mereka. Terlebih bila memasuki jam yang lebih larut, dimana lalu lintas semakin sepi namun tempat ini justru semakin ramai dengan pasangan-pasangan.
Di satu sisi, hal tersebut bernilai negatif, karena dampaknya menyeluruh. Orang diluar Nanggroe ini pasti mempunyai pikiran bahwa tidaklah semua orang yang memakai pakaian islami di Nanggroe ini berjiwa islami dan memang demikian halnya. Kebanggaan membawa predikat ‘Ureung Aceh” lambat laun juga akan mulai memudar dikalangan masyarakat Aceh di luar sana. Cemoohan ataupun juga hujatan ke Nanggroe ini, baik itu secara vulgar ataupun implisit, telah banyak beredar. Terlebih karena saat ini, Nanggroe Aceh Darussalam “sedang sibuk” dikunjungi “tamu” dengan berbagai kepentingan. Seyogyanyalah mereka membawa pulang oleh-oleh buah bibir yang positif tentang Nanggroe kita. Namun sayang, banyak dari mereka yang terkejut dengan fakta yang terlihat oleh mata mereka sendiri.
Orang tua bilang, ambil hikmah dari suatu kejadian. Maka hikmah yang bisa didapat dari kasus ini adalah introspeksi diri. Kebanyakan orang tua telah terlanjur banyak memberi kebebasan kepada anak mereka untuk beraktifitas sesuka hati tanpa adanya aturan yang mendidik. Banyak orang tua yang tak tahu apa aktifitas anak mereka di luar sana. Banyak orang tua yang tak mahu tahu apakah anak mereka sudah beribadah. Dan bahkan banyak orang tua yang menutup mata melihat kebebasan anak mereka memakai pakaian yang non-Islami.
Tulisan terlebih untuk mendidik masyarakat bahwa di Nanggroe ini masih banyak yang belum siap menerima pemberlakuan syariat Islam. Ataupun pembuktian bahwa banyak kalangan di Nanggroe ini yang belum terdidik oleh nilai-nilai Islami. Oleh karenanya, pihak penegak hukum, hukum Islam dan juga Hukum Negara (atas prestasi kerja mereka) wajib memperbaiki segala ‘kerusakan’ ini dengan cara yang arif dan Islami juga. Tokoh masyarakat harus berdiri didepan menyuarakan dan mensosialisasikan Syariat Islam sehingga masyarakat lebih banyak menerima ilmu dan pendidik hukum. Di jenjang keluarga, orang tua harus menjadi pendidik mendasar yang menjadi contoh tauladan bagi anak-anak mereka. Teman bahkan punya peran untuk saling mengingatkan teman mereka. Dan bahkan diri perseorangan harus mengintrospeksi diri, apakah diri ini telah memberi nilai positif kepada orang lain? Atau setidaknya memberi contoh positif terhadap orang lain!

No comments: